
Nuryadin Bangsawan
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik program Program Studi Ilmu Pemerintahan Universitas Teknologi Sumbawa
Wacana pemekaran Provinsi Pulau Sumbawa (PPS) kembali menguat sebagai respons terhadap ketimpangan pembangunan antar wilayah di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Sebagai mahasiswa Ilmu Pemerintahan, saya melihat isu ini bukan sekadar pemisahan administratif, tetapi lebih kepada bentuk pemberdayaan daerah sesuai dengan amanat UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Dalam UU tersebut, khususnya Pasal 3, ditegaskan bahwa penyelenggaraan pemerintahan daerah bertujuan antara lain untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, pemerataan, serta meningkatkan daya saing daerah. Jika ditinjau dari sudut pandang pemberdayaan, pembentukan Provinsi Sumbawa berpotensi menjadi langkah strategis untuk mempercepat otonomi lokal yang efektif. Mengingat Pulau Sumbawa memiliki potensi sumber daya alam, sektor pertanian, peternakan,perikanan, dan pariwisata yang cukup besar.
Pada sektor pertanian produksi jagung yng naik 9,4% pada 2023 dari 610,802 ton pada 2022 menjadi 668,752 ton,sedang kan pada sektor peternakan Sumbawa di kenal sebagai “BUMI SEJUTA SAPI” mencatat populasi sapi sebanyak 308,754 ekor, naik 9,13%. Di sektor perikanan, produksi mencapai 475,476,34 ton, sedangkan pada pariwisata merupakan potensi besar di kabupaten Sumbawa dengan 120 destinasi wisata dari 24 kecamatan pada 2019 tercatat 30,798 wisatawan berkunjung yang menunjukkan potensi besar untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) dan menciptakan lapangan kerja maka dengan otonomi penuh sebagai provinsi, daerah ini dapat lebih bebas menetapkan prioritas pembangunan berdasarkan kebutuhan lokal.
Selain itu, akses pelayanan publik yang selama ini terkonsentrasi di Pulau Lombok menjadi lebih dekat dan merata jika Sumbawa berdiri sendiri. Pendekatan pembangunan berbasis lokal akan lebih mudah dijalankan karena kebijakan tidak lagi menunggu dari pusat provinsi yang jauh secara geografis dan kadang kurang memahami kondisi kultural masyarakat Sumbawa.
Namun, dari sisi pemberdayaan, kesiapan SDM birokrasi dan kelembagaan baru juga menjadi tantangan yang harus diselesaikan sebelum PPS benar-benar terbentuk. Jika pemekaran tidak diiringi dengan pembinaan kapasitas pemerintahan lokal, maka yang terjadi hanya perubahan struktur tanpa peningkatan kualitas layanan publik.
Dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip dalam UU 23/2014, pemekaran Provinsi Pulau Sumbawa dapat menjadi alat pemberdayaan yang efektif, selama prosesnya mengedepankan partisipasi masyarakat, transparansi, dan kesiapan kelembagaan. PPS bukan hanya tentang identitas baru, tapi tentang memungkinkan masyarakat Sumbawa mengelola sendiri masa depannya dengan lebih berdaya dan mandiri.