
Kepala Desa Talonang Baru, Budi Karyo usai memberikan keterangan pers terkait kebutuhan petani.
PenaTenggara.com, (Sumbawa Barat) — Jagung, merupakan komoditas pangan unggulan di Desa Talonang Baru, Kecamatan Sekongkang. Warga setempat yang mayoritas petani menggantungkan pendapatan keluarga dan kebutuhan lainnya pada hasil produksi jagung.
Produksi jagung di wilayah tersebut dilakukan satu kali dalam setahun lantaran lahan yang di kelola tadah hujan. Disisi lain, masyarakat setempat memiliki semangat yang kuat agar produksi jagung bisa dilakukan dua kali dalam setahun. Namun sayang, semangat tersebut menjadi pudar karena faktor alam yang kurang mendukung serta nihilnya sarana pengairan.
Berangkat dari itu, petani setempat meminta kepada pemerintah daerah bahwa 20 kelompok petani jagung membutuhkan sumur bor.
“Bagi kami, keberadaan sumur bor lebih efektif dari embung maupun bendung,” ungkap Kepala Desa Talonang Baru, Budi Haryo SP pada media, Senin 22 Agustus 2022.
Ia menambahkan, di Talonang Baru sendiri terdapat embung serta jaringan pengairan. Namun sayang, ada elevasi antara embung dan lahan warga. Lahan tanam jagung berada di atas, sedangkan embung berada di bawah.
Lanjut Kades memaparkan, bahwa lahan produktif jagung di Talonang Baru ± 1.800 hektar. Darinya, per/hektar menghasilkan maksimalkan 7 ton.
“Hasil jual jagung itu digunakan untuk mengembalikan biaya Kredit Usaha Rakyat (KUR) di BRI, operasional keluarga, biaya pendidikan anak dan di putar kembali untuk biaya tanam jagung tahun berikutnya,” papar Kades.
Desa Talonang Baru yang didalamnya lima dusun dan 17 RT serta di huni 574 kk itu berharap agar apa yang menjadi kebutuhan masyarakat dapat di realisasikan.
“Kita punya lokasi yang layak di bangun Bendungan. Tetapi, itu membutuhkan anggaran besar yang jumlahnya milyaran,” ujarnya.
Pada media, Kades juga menjelaskan bahwa selain air, petani juga membutuhkan pembangunan Jalan Usaha Tani (JUT) yang diharapkan bisa menekan angka pengeluaran dan belanja petani disaat masa pemeliharaan seperti angkut pupuk, bibit hingga angkutan hasil jagung setelah panen.
Nah, menyangkut soal harga, beber Budi, harga fluktuatif. Sebelum lebaran Idul Fitri Mei 2022 lalu, harga sempat Rp. 4.000,-/kg bahkan Rp. 3.800,-/kg.
Selain kebutuhan tersebut, pupuk juga tidak kalah penting. Barang tersebut memiliki peranan yang sangat vital dalam mendukung tumbuh kembang serta meningkatkan jumlah produksi.
“Selain jagung, ada juga warga yang menanam padi. Kurang lebih 40 hektar saja. Yang lebih dominan adalah jagung,” terangnya.
Foodestate Butuh Sumur Bor
Kelompok Tani Hutan (KTH) Sampar Baru merupakan pengelola 100 hektar lahan food estate. Didalamnya, terbagi dalam empat blok. Tiap blok masing-masing 25 hektar.
Saat ini, food estate sudah di kelola selama dua tahun dengan ditanami jagung sebagai komoditi tanaman jangka pendek. Sedangkan kelapa, pisang, pepaya, sengon, kayu putih dan pangan lainya merupakan tanaman yang di design untuk jangka panjang.

Ketua KTH Sampar Baru, Syaifullah pada media mengatakan bahwa pihaknya membutuhkan tambahan tiga unit sumur bor. Sedangkan, satu unit sumur pengairan yang ada saat ini belum mampu menjawab kebutuhan air untuk menjawab luas wilayah yang ada.
“Sumur bor dan sarana distribusi harus di barengi agar air mudah dialiri dari hulu ke hilir,” terangnya.
Mengenai pupuk, kelompok telah menyampaikan ke teman-teman TNI agar dimudahkan pengambilan. Tidak lagi melalui pengecer melainkan langsung ke distributor.
“Jagung merupakan komoditi potensial dan itu memberi pengaruh pada perekonomian masyarakat. Oleh karena itu, pemda diharapkan turun tangan. Terjawabnya kebutuhan petani, Insya Allah kedepannya membawa kesejahteraan,” pungkasnya. (deP/Adv)