PenaTenggara.com, (Sumbawa Barat) — Penyertaan modal yang dilakukan Pemkab Sumbawa Barat ke PD Bank Perkreditan Rakyat (BPR) memberikan deviden bagi daerah. Deviden yang diterima tanah Pariri Lema Bariri di tahun 2021 menurun dari tahun sebelumnya.
“Hasil Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) belum lama ini, Pemda KSB mendapatkan deviden sebesar Rp.132.911.898 dari penyertaan modal Rp 2 milyar,” ungkap Kepala Bagian Perekonomian dan Pembangunan (Ekbang) pada Setda, Sri Ayu Idayani pada media, Rabu (16/3) di ruang kerjanya.
Dikatakan rendahnya, karena jumlah deviden yang diterima dari tiga tahun sebelumnya mengalami penurunan. Tahun 2020, terang Ayu-akrabnya disapa, daerah menerima deviden sebesar Rp. 178.937.120,-. Tahun 2019 pada posisi Rp.161.920.945,- dan terakhir tahun 2018 sebesar Rp.170.710.016,-.
“Bisa dikatakan, penerimaan deviden tiap tahun tidak menentu karena pembagian deviden itu berdasarkan laba yang di peroleh oleh perbankan itu sendiri,” terangnya.
Untuk diketahui, penyertaan modal daerah untuk PD. BPR NTB Sumbawa Barat sendiri sebesar Rp 8 milyar dengan komposisi Rp. 4 milyar dari Pemprov NTB dan masing-masing Rp. 2 milyar dari Pemkab Sumbawa dan Pemkab Sumbawa Barat.
“Soal penyertaan modal juga ada aturan dan mekanisme tersendiri yang menjadi persyaratan dan harus tercatat di administrasi OJK sehingga tidak sembarangan,” terangnya.
Terpisah, Dirut PD BPR NTB Sumbawa Barat Hafit Wahyudi mengatakan, bukan hanya KSB yang menerima deviden rendah. Untuk pemegang saham lainnya, yakni Sumbawa dan NTB mengalami hal yang sama.
Lebih jauh Hafit menerangkan, adapun penyebab rendahnya deviden ini dilatar belakangi beberapa faktor. Diantaranya biaya dana karena adanya linkage dengan Lembaga perbankan lain dalam rangka mencukupi kebutuhan likuwiditas dan pelemparan kredit akibat animo masyarakat yang mengajukan kredit sangat besar, disisi lain penghimpunan dana masyarakat tidak mengimbangi kebutuhan dana. Berikutnya penerapan POJK 33 terkait PPAP khusus kredit DPK dari semula dibentuk 1% dari kredit per 1 Desember 2021 menjadi 3% juga adanya pembebanan biaya konsolidasi BPR se-NTB yang dianggarkan tahun 2016 tahun 2021 baru dijadikan biaya atas perintah OJK. Atas beban tersebut yang menyebabkan perolehan laba menurun.
Ia menambahkan, sebenarnya kami berharap pada Pemda KSB untuk bisa memberikan penempatan dana dalam bentuk deposito kepada BPR untuk menghindari biaya dana yang lebih besar. Karena dana tersebut selanjutnya di Kelola untuk kemaslahatan perekonomian masyarakat KSB juga agar lebih baik dan produktif di dalam masa pandemi covid-19 ini terlebih ujungnya bisa meningkatkan deviden. Tetapi, jelasnya lagi, harapan tersebut tidak bisa terwujud.
“Nah, untuk mempertahankan likuiditas dan menjaga solvabilitas, maka dilakukan linkage dan itu sudah lumrah dalam perbankan dan Alhamdulillah telah di kembalikan,” bebernya.
Kedepan, harapan kami agar Pemda KSB memberikan perhatian dan keberpihakan terhadap BPR karena bagaimanapun juga, BPR merupakan BUMD milik Pemerintah Daerah yang harus bisa di optimalkan perannya.
“Jika di konversi deviden Rp. 132 juta lebih yang diterima KSB dengan modal 2 milyar itu masih di atas suku bunga bank umum (LPS) dalam penempatan dana” pungkasnya seraya mengatakan di dalam pengelolaan usaha, kita kerap dihadapkan dengan modal likuiditas yang utama karena sebagai lembaga jasa keuangan dan kepercayaan. (deP)